Jasa Raden Ajeng Kartini


Ibu kita kartini..
Putri sejati…
Putri Indonesia…
Harum namanya….
…………………………
Cuplikan lagu di atas tak terasa asing terdengar di telinga kita, bahkan anak TK pun dengan lancar menyanyikan bait-bait lagu tersebut. Sebenarnya sehebat apakah seorang wanita jawa yang bernama kartini ini? Dia tetap hidup meskipun jasadnya telah hancur berkalang tanah. Begitu dahsyatnya gebrakan yang kartini lakukan sehingga dapat membuat mata dunia terbuka, menginspirasi banyak orang khusunya seorang wanita untuk dapat berkarya pada dunia tak sebatas keluarga.
Dalam tradisi jawa, wanita mempunyai arti wani ditata (berani diatur: bhs jawa-red). Dimana seorang wanita berada di bawah kuasa dan perintah seorang laki-laki terutama ayah atau suaminya setelah menikah. Peranan wanita terbatas pada tiga tempat yaitu dapur, sumur dan kasur titik tak ada penyangkalan lain. Ketika seorang wanita mencapai cukup umur untuk berkeluarga kaum ini akan di pingit hingga ada seoarang lelaki yang melamarnya. Betapa sederhana siklus hidup seorang makhluk berjenis wanita pada saat itu. Dia terlahir hanya untuk menunggu dilamar orang, melayani suami dan membesarkan anak. Tak ada yang bisa dilakukannya untuk kemaslahatan orang banyak
Padahal kalau masyarakat pada zaman itu teliti, untuk membesarkan dan mengasuh anak diperlukan pengetahuan yang luas agar seoarang anak tersebut menjadi cerdas serta berbudi pekerti. Bagaimana seorang wanita yang tak pernah mengenal pendidikan dapat memuaskan rasa intelektualitas dari seorang anak yang cenderung ingin tahu dan kritis. Ini menyebabkan generasi muda Indonesia kalah saing dan tertinggal dengan bangsa lain, terbukti kita dijajah hingga ratusan tahun. Tak lain dan tak bukan peran seorang wanita urun andil dalam kurun waktu panjang penjajahan tersebut. Pertanyaan yang timbul, apakah itu mutlak kesalahan seorang wanita? Saya yakin masing-masing dari individu mempunyai jawaban yang hampir sama. Tentu TIDAK!!
Kartini dengan segala tradisi yang harus dilakoninya, mencoba mendobrak pola pikir masyarakat saat itu. Dengan tradisi pingit yang dijalaninya, dia tetap memuaskan kehausannya akan ilmu melalui buku. Beruntung karting terlahir di tengah keluarga ningrat sehingga meski dalam keadaan pingitan, beliau mendapat kesempatan belajar dari buku. setelah menikah beliau berkesempatan mendirikan sekolah wanita di Swemarang pada tahun 1912, dimana sekolah ini memberikan pelajaran ketrampilan, seperti menyulam, menjahit, serta pendidikan lainnya. Selain itu terdapat karya Kartini yang menginspirasi wanita hingga sekarang yang tertulis dalam sebuah buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang berisi kumpulan suratnya pada sahabat-sahabatnya di Belanda tentang nasib wanita di negerinya.
Dari jerih payah pengorbanan kartini tersebut, kini seorang wanita dapat berkarya tak hanya dalam lingkup keluarga, memenuhi kebutuhan anak dan suaminya. Persamaan gender telah terealisasi setelah puluhan tahun usaha dari sosok Kartini. Bekerja dan berkarir menjadi ciri khas wanita modern saat ini. Menjadi wanita kantor, manager, hingga teknisi bahkan di beberapa tempat pekerjaan yang identik dengan pria diduduki oleh seorang wanita, semisal: tukang bengkel, kondektur hingga teknik, bahkan tak tanggung-tanggung presiden kelima Negara Indonesia adalah seorang wanita. Sewbegitu bebasnya emansipasi seorang wanita hingga kini tak jarang dijumpai pertukaran perang dalam rumah tangga, seorang istri banting tulang mencari nafkah sedangkan suaminya mengurus pekerjaan rumah dan anak. Apakah ini yang diharapkan oleh seorang Kartini??
Suatu hal bila dilakukan berlebihan tentu tidak akan baik hasilnya. Seperti fenomena pergantian peran dalam rumah tangga, seorang istri yang berkarir kemudia menyerahkan tugasnya di rumah serta pengasuhan anak pada pembantu, apakah itu yang diharapkan oleh seorang R.A Kartini ketika memperjuangkan nasib kaumnya dahulu? Tersenyumkah beliau sekarang melihat derajat kaumnya yang setara dengan derajat seorang pria, atau malahan beliau menangis melihat emansipasi seoarng wanita yang kelewat batas? Atas nama kesetaraan gender sebagian besar wanita modern sekarang berlomba untuk mengejar karir dan prestasi di luar rumah dan dengan dalih “ini semua untuk kebahagiaan keluarga” mereka mencari pembenaran atas ketiadaan waktu untuk sekedar meluangkan waktu di rumah serta mendengarkan cerita anaknya di sekolah, kepenatan suaminya di kantor dengan alasan “saya juga capek seharian bekerja”.
Jika hal ini makin menjadi tren, pertanyaan yang muncul adalah “Apa salah seorang R.A Kartini yang ingin memajukan kaumnya jika semakin ke depannya perang wanita dalam keluarga malah semakin sedikit bahkan menghilang?”. Tak perlu saya jawab, karena sya yakin anda mempunyai berjuta jawaban untuk sebuah pertanyaan diatas. Semoga ini bisa menjadi bahan instropeksi pada wanita yang berkarir di masa sekarang akan kodratnya segagai seorang istri dan ibu.