20 Maret 2012

Kartini Sayang Yang Malang

Kumpulan surat Kartini ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ : rasanya kok judul tersebut tidak mencerminkan kenyataan sesungguhnya yang dialami Kartini ?!
Putri (anak perempuan tertua) dari seorang Bupati Jepara yang tentu saja punya kehidupan lebih sejahtera dibandingkan perempuan lain yang bukan anak keturunan ningrat. Kenyamanan tempat tinggal, juga makanan dan pakaian yang lebih baik dari perempuan lain di luar tembok Kabupaten pastilah dimiliki Kartini. Tak heran bila ia bisa mengakses buku, koran, dan majalah terbitan dalam dan luar negeri yang tentu saja untuk kondisi saat itu adalah hal mustahil bagi perempuan buruh tani, pedagang kecil, pengrajin batik, atau sekedar ibu rumah tangga dari kalangan rakyat jelata.
Keinginan Kartini untuk bersekolah di Betawi adalah keinginan pribadi yang lebih dipengaruhi oleh rasa ketidakadilan atas dirinya yang seorang perempuan dibandingkan dengan saudara laki-lakinya yang kesempatan menempuh pendidikan di luar tembok Kabupaten.  Frase masa kecil hingga sebelum menikah inilah sebenarnya menurutku adalah jejak terang kehidupan Kartini.
Frase kehidupan Kartini yang menurutku gelap dimulai ketika ayahnya meminta ‘memaksa’  Kartini agar menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903.  Usia Kartini sekitar 24 tahun, menurut adat Jawa ‘perawan tua’ adalah julukan bagi perempuan yang telat menikah, bisa jadi Kartini termasuk dalam kategori ini. Sehingga, keterpaksaan menerima perintah menikah dari ayahnya.
Walaupun dalam banyak literatur disebutkan bahwa suaminya mengerti keinginan Kartini, namun kondisi ini hanyalah berlangsung selama satu tahun.  Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Setelah menikah Kartini menjalani proses kehamilan dan pasca melahirkan yang tak didukung kesehatan yang prima. Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, R.M. Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Bacalah surat-surat Kartini yang berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu. Aku merasakan betapa berat kehidupan pernikahan Kartini.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. “…Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…
Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah. Ah … Kartini sayang (juga) malang. Aku berandai-andai : bertemu Kartini dan menghadiahkan sebuah buku berjudul ‘Memilih Monogami’ karya Faqihuddin Abdul Kodir dan ‘Islam Agama Ramah Perempuan’ karya Husein Muhammad. Apakah akan mengubah sejarah ?! Kartini tak menikah dengan Adipati Ario, tidak memilih pernikahan poligami, juga takkan mati muda ‘pasca melahirkan’.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya. Tapi terbukti Kartini tidak bahagia. Pilihan hidup yang menyiratkan kesedihan, dan mungkin saja berpengaruh kepada kesehatan jasmani dan rohani Kartini. Memang umur di tangan Allah Yang Maha Pencipta, namun pertanyaan besarku adalah ada apa pada diri Kartini pasca melahirkan ?! Hanya empat hari saja Kartini bertahan, bayi mungil itu tiada lagi beribu dan tak memperoleh hak menyusu ASI dari ibu kandungnya. Kartini telah menghadap Illahi Rabbi dalam usia 25 tahun.
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika dan lain-lain. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai alasan lainnya.
Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.

0 komentar: